Love that knows no bounds

Owren
10 min readFeb 9, 2024

Konsep konser Orkes Komunitas Concordia kemarin bertemakan cinta but not the lovey-dovey kind of way.

Sekitar empat-lima bulan lalu program untuk konser awal tahun 2024 diumumkan: Piano Concerto no. 1 karya Tchaikovsky, Suita “Sleeping Beauty” karya Tchaikovsky, dan “Scenes from Little Prince Ballet” karya komposer Indonesia, Mery Kasiman. Tak lama, diumumkan juga kalau Overtur Romeo dan Juliet karya Tchaikovsky juga akan dimainkan. Coba hitung ada berapa Tchaikovsky. Satu ditambah satu sama dengan dua. Ditambah satu lagi sama dengan ti…DAK. TIDAK. CUKUP. Cukup unprecedented memainkan lebih dari dua karya yang berdurasi cukup panjang oleh komponis yang sama, yang otomatis berasal dari era dan memiliki karakteristik musik yang mirip, dan tiga karya tersebut, if this was any other concert, salah satu dari karya tersebut bisa saja jadi penampilan utamanya. Rasanya seperti memesan tiga main courses untuk hidangan satu orang. Apakah akan bisa dinikmati? Atau overwhelmed karena takut kekenyangan?

Hopefully, it’s the former.

Kebetulan jumlah anggota mencukup untuk memainkan karya simfoni dari era romantik (note: romantik bukan berarti romansa), kapan lagi mencoba program tersebut bersama-sama? Tantangannya tentu tidak hanya di partitur yang menantang tetapi juga segala variasi kualitas suara yang perlu dimainkan bersama-sama. Jadi cukup intens persiapannya mengingat tiga karya Tchaikovsky dan satu karya relatif baru yang belum ada rekaman resmi di internet (so it was up to us to envision how the sound going to be like). Sepanjang tahun 2023 kemarin, baru ada sectional dengan musisi profesional untuk persiapan konser kemarin. Mengadakan sesi dengan mereka juga merupakan pengingat bahwa bermusik itu juga ada proses belajar, it’s good to occassionally look at each other and learn how can we improve and do it more consistently with relative ease the next time. Ya semua dilakukan atas nama kesukaan terhadap musik dan jenis musik yang dimainkan. Terima kasih atas kerja kerasnya dalam berproses bersama-sama untuk lebih baik. Bravo, brava atas penampilannya.

Kudos to panitia dan kru yang mempersiapkan acara konser. Berbeda dengan konser sebelumnya sejak mulai mengadakan konser luring lagi, tempat konser kali ini lebih besar dan merupakan konser tunggal (= bukan kolaborasi atau mendukung penampilan lain) sehingga target penonton, biaya, dan sumber daya yang perlu dikeluarkan juga berlipat. Mereka berjasa dalam menyukseskan konser dan semua juga dilakukan atas nama kecintaan terhadap musik dan ketertarikan dalam seni pertunjukan serta pengelolaannya. Semoga sukses selalu di hal yang ingin dicapai ya teman-teman. Selamat atas apa yang berhasil dilakukan untuk konser.

Sama seperti di post sebelumnya, saya semacam merefleksikan apa makna dari program tersebut. Ini lah pelampiasan post-concert blues karena tidak ada foto dan video yang perlu dipilah-pilah atau urusan administratif yang perlu diurusi.

Suita “Sleeping Beauty” mengawali konser. Bunyi menegangkan, mencekam, menceritakan kedatangan si peri jahat (dikenal sebagai Maleficent di versi film) yang iri hati karena tidak diundang ke perayaan kelahiran Putri Aurora. Jealousy is not a sign of love. Peri lainnya, melihat betapa sayangnya kedua orang tua mereka kepada putrinya, merubah kutukannya dari meninggal menjadi tertidur selamanya ketika sang putri berulang tahun ke-16; selain itu, kedua orang tuanya juga harus rela menjaga jarak dengan anaknya agar bisa lebih terjaga dan jauh dari kemungkinan bahaya terlepas bagaimana sayang dan inginnya mereka untuk selalu berada di dekat si Putri. Suatu hari Aurora berpaspasan dengan seorang pangeran dan muncullah ketertarikan. Saat itu, mereka tidak tahu bahwa Aurora adalah seorang putri raja dan mereka berdua sebenarnya sudah dijodohkan. Pangeran Philip (di film) atau Florimund (di balet) terlanjur jatuh cinta dengan “seorang gadis” yang ia temui di luar istana yang sedang memakai pakaian rakyat biasa. Di akhir pun Putri Aurora terlepas dari kutukannya, Maleficent gugur; Putri Aurora dan Pangeran menikah sebagai pasangan cinta sejati yang kebetulan juga saling direstui oleh keluarga mereka. If love is meant to be, it’s meant to be.

Kontras dengan suita “Sleeping Beauty”, Overtur Romeo dan Juliet berakhir dengan tragis karena kedua keluarga tidak menyetujui hubungan cinta padahal Romeo dan Juliet adalah cinta sejati bagi satu sama lain. Bahkan, sebenarnya bisa saja bukan orang pilihan yang tidak disetujui melainkan keluarganya yang memiliki konflik dengan satu sama lain. Had it been another family, alur cerita mungkin saja akan berbeda. Padahal, Romeo dan Juliet bahkan tidak tahu dari keluarga mana mereka berasal di pertemuan pertama mereka. Mereka juga pasti berharap memiliki akhir cerita seperti Putri Aurora dan Pangeran Philip — that love trumps hate and evil namun sayang sekali keinginan mereka untuk bebas dari kebencian hanya akan terjadi jika mereka berdua meninggalkan dunia bersama-sama, lepas dari the warring families.

Catatan (penambah ilmu ha ha dan pengingat betapa singkatnya hidup kita dibandingkan dengan alur sejarah manusia): jarak waktu antara komposisi tersebut dengan karya Shakespeare (1597) yang menginspirasi Tchaikovsky (1880), thus the “fantasy overture”, hampir sama seperti jarak waktu antara kita di tahun 2024 dengan waktu pertama kali “Messiah” karya Handel (1742) dimainkan. Tidak hanya cinta yang tidak mengenal waktu; karya dan passion yang dituangkan dalam karya tersebut juga memiliki batas waktu yang tak terhingga. Semoga hasil kerja keras kalian suatu hari nanti dapat dinikmati oleh penduduk bumi di tahun 2300.

Overtur biasanya ditampilkan di awal program konser karena bentuknya yang memang memberikan cuplikan gambaran atau kulminasi dari karya-karya dari seluruh bagian babak pertunjukan seperti opera. Ternyata memang cautionary tale tentang kebencian turun temurun, letting the blind hatred fluorish, yang ingin dijadikan pesan utama. Memang cinta terdengar seperti hal yang indah tapi jangan lupa bahwa keindahan tersebut muncul di tengah hal-hal buruk seperti diskiminasi, kekerasan, dan peperangan.

Ada dua karya yang menampilkan piano, satu sebagai pemain utama dan satu sebagai bagian dari orkestra. Solois piano pada konser kemarin adalah Jonathan Wibowo. Beliau pernah belajar musik dan banyak memenangkan kompetisi piano di Rusia, negara asal Tchaikovsky. Konserto Piano no. 1 karya Tchaikovsky (yang ditampilkan dalam konser hanya movement pertama) merupakan karya piano terkenal darinya karena repetisi empat not pembuka oleh barisan French Horn yang menggelegar seperti terompet kemenangan, mudah dikenal hanya dari beberapa detik pertama; alunan melodi tema oleh strings kemudian piano yang mengulang kembali melodi yang sangat terkenal tersebut. Tchaikovsky baru pertama kali belajar musik di awal usia 20 tahun. Tchaikovsky tidak hanya fokus dalam membuat komposisi simfoni atau balet tapi juga memperluas bentang pengetahuan terhadap karya komposer lain sebagai kritikus musik. Cintanya terhadap musik juga tidak hanya semata-mata dilakukan dengan belajar dan memainkan saja.

Konserto Piano no. 1 dikritik oleh seseorang yang sejak Tchaikovsky muda sangat membantu pendidikan dan karier bermusiknya tapi konserto tersebut ditampilkan dengan sukses di Boston dan masih sukses dan disegani hingga sekarang. Di balik kekaguman terhadap melodi yang menggugah semangat nasionalis dan rasa bangga, kisah percintaan Tchaikovsky juga tidak seindah Sleeping Beauty, dimana stigma identitas dan/atau orientasi seksual Tchaikovsky yang ditangkap dalam berbagai tulisannya menjadi aib yang perlu ditutupi — kejujuran seseorang terhadap dirinya sendiri ditutupi demi memahsyurkan karya-karyanya, seakan-akan riwayat komposer dapat dihilangkan dengan mudahnya. Jika Overtur Romeo dan Juliet adalah cautionary tale tentang akibat dari kebencian yang dibiarkan tumbuh, hidup Tchaikovsky adalah kenyataan pahit yang harus dijalani dan diterima oleh banyak orang.

Ditambah dengan beberapa bagian dari balet Swan Lake yang dimainkan (oleh penulis) di tahun 2022 dan gubahan Overture yang disederhanakan dulu, total sudah ada lima karya Tchaikovsky yang dimainkan. Di tahun lalu juga saya akhirnya mendapat kesempatan untuk menyaksikan penampilan Simfoni no. 5. Safe to say this solidifies his position on the top of my list. Mungkin suatu hari nanti akan ada kesempatan untuk mengulik balet “The Nutcracker” atau berlatih Overtur 1812 ditemani dengan gledek di ibukota sebagai pengganti bunyi meriam perang. (Before we know it, anggota orkes Concordia yang muda-muda tahu-tahu sedang mempelajari konserto violin dalam D mayor 👏).

“Scenes from Little Prince Ballet” karya Mery Kasiman menjadi momen bagi para anggota untuk bisa lebih rileks karena bagian yang dimainkan tidak semenantang Tchaikovsky — tapi ini juga bukan tantangan yang bisa dianggap enteng karena to my knowledge, karya ini baru dipentaskan oleh Jakarta City Philharmonic, a performance that I was lucky enough to see back in 2018. Di konser edisi tersebut, I was merely expecting to see Rachmaninoff Piano Concerto no. 2. The Little Prince film hits different now that I am at least five years older. Komitmen Orkes Komunitas Concordia memang akan selalu menghadirkan karya komposer Indonesia dan semoga ini menjadi penyemangat dan inspirasi bagi para anggota dan penonton.

Mengutip catatan komposer dari buku acara konser Jakarta City Philharmonic edisi Yuwana tahun 2018: “Komposisi ini digubah dalam rangka pemenasan balet Little Prince produksi Rumah Karya Sjuman tahun 2017. Cuplikan dari balet Little Prince adalah montase adegan-adegan baletnya, yang terdiri atas “Tarian Planet Ilmuwan”, “Tarian Little Prince dan Pilot”, “Tarian Kebun Mawar”, dan musik penutup epilog. Tema dari “Tarian Little Prince dan Pilot” merupakan pengembangan motif dari bagian “Overtur Balet Little Prince” karya Aksan Sjuman.”

Karya ini menampilkan lagi solois piano, Jonathan Wibowo, dan Fariz Triandy sebagai solois akordion (side note: Fariz juga tampil sebagai pemain selo pada konser ini). Akordion bukan instrumen yang umum ditampilkan bersama ataupun menjadi instrumen solo dalam format orkestra simfoni tapi bunyi akordion seakan-akan memberi nostalgia karena suaranya yang playful, mengingatkan kita kepada suara-suara dalam arcade game sewaktu kecil. Menurut saya, suara akordion juga terkadang terdengar seperti instrumen dalam folk music. Nuansa luar angkasa cerita Si Pangeran Mungil (karena ceritanya ia berasal dari planet luar dan menjelajahi berbagai planet sebelum mendarat di bumi) juga seperti mengingatkan kepada lagu Bintang-Bintang — Canopus, Capela, Vega, dan bunyi seruling bambunya.

Dalam cerita (setidaknya film tahun 1974), Si Rubah mengatakan “you made me feel very important” saat mengetahui bahwa Pangeran Mungil akan kembali ke planet asalnya. Bagaimana tidak, Si Rubah sudah memberi peringatan kepadanya bahwa manusia dan rubah tidak seharusnya berhubungan karena rubah adalah buruan manusia tapi Pangeran Mungil tetap berusaha untuk menjinakan Si Rubah. Si Rubah lalu berkata, “you always feel responsible for what you’ve tamed” saat Pangeran Mungil mulai merasa ragu apakah ia harus kembali tapi Si Rubah meyakinkan Pangeran Mungil untuk tetap kembali karena ada mawar yang ia jaga dan pedulikan di tempat ia berasal, walaupun di bumi ada banyak bunga mawar di kebun seakan-akan mawar di planetnya tidak istimewa — “it was my flower”. Ada banyak orang di dunia ini yang dapat dicintai atau mencintai kita. Ada juga banyak orang yang melakukan hal yang sama, sama-sama menciptakan hal yang serupa tapi yang spesial adalah waktu yang diluangkan untuk orang dan passion tersebut.

Digressing sedikit —a lot has happened since 2018. Tidak pernah disangka kalau dalam lima tahun tersebut saya lebih banyak berdialog dengan diri sendiri tentang bagaimana masa kecil membentuk pola pikir, kebutuhan, hasrat, dan posisi saya di dunia saat ini. Ada hal-hal yang disesali; pikiran sempat terpuruk dengan perandai-andaian; banyak hal yang belum sempat diutarakan atau dilakukan; tapi waktu hanya punya dua mode, antara ia tidak bisa berhenti atau bergerak maju dengan sangat cepat. We’re either floating around atau stuck behind. Apapun yang terjadi, yang saya alami cuma saya seorang yang alami. Tidak ada yang lebih tahu tentang kendala yang telah berhasil dijinakan. Tidak ada yang tahu seberapa sayang terhadap mawar yang tumbuh dalam diri kita kecuali kita. [Honorary mention of Sherina’s album, My Life. Manifestasi konser live satu albumnya yuk percaya yuk]

Tak lupa dengan kutipan yang sangat terkenal dari Si Rubah, diperankan oleh Gene Wilder di film tahun 1974, “it is only with the heart that one can see clearly/rightly, that what is essential, is invisible to the eye”. Gene Wilder sang aktor juga memiliki tempat spesial dalam kenangan masa kecil karena ia juga sebelumnya memerankan Willy Wonka di film Charlie & the Chocolate Factory. Jauh-jauh kita memandang, mencari apa yang kita perlukan, ternyata hal tersebut dekat di pelupuk mata.

Sang Pilot merasa bahwa bersama dengan Si Pangeran Mungil, ia bisa merasakan “the hopes and dreams I lived among when this heart of mine was wise and young…”. Pilot merasa sedih karena Pangeran Mungil pulang ke planet asalnya namun tidak bernafas. “Shine for me again, Little Prince, in your eyes” *cues the English horn accompaniment* Oh, kemanakah rasa penasaran dan ketakjuban sebagai anak itu pergi? Where did it all go? Did it go in vain?

Sangat merekomendasikan menonton film The Little Prince (and self-reminder untuk mencoba membaca bukunya) karena walaupun terdengar seperti cerita dongeng fantasi, banyak makna hidup yang terkandung dalam hampir setiap adegan, bahkan percakapan.

The biggest feeling of release adalah pada bagian yang tertera sebagai “X” dalam partitur. Euforia terasa seakan-akan Sang Pilot berhasil menerbangkan kembali pesawatnya untuk pulang dan ia mendengar tawa Si Pangeran Mungil di langit karena ia sudah kembali ke angkasa menuju planet asalnya. Piano seperti bermain dalam tangga nada F mayor, kemudian modulasi dengan scale naik sampai pada alunan strings, yang sebenarnya terdengar seperti bermain di tangga nada G mayor. G mayor adalah tangga nada favorit dan menurut saya, terdengar paling terang dibandingkan dengan tangga nada lain sehingga wajar jika dari posisi duduk saya di belakang, dari penglihatan perifer saya melihat semua pundak mundur, terlihat lebih rileks, nafas terasa lebih lega; gesekan bow pemain menjadi jauh lebih ringan dan luas daripada biasanya — it feels like it can go on forever, suaranya benar-benar bisa meluas. Disana saya yakin semua suka dengan suara dan ikut terbawa suasana. Kalau boleh throwback sedikit, ini mengingatkan penulis kepada karya komposisi Pidari oleh Irwan Bakhti, terinspirasi dari Perang Paderi, yang ditampilkan khusus oleh OSUI Mahawaditra di tahun 2016, dimana dentuman dan deruan perang lalu diselimuti oleh alunan melodi strings dalam tangga nada Bb mayor kemudian bermodulasi ke D mayor, the second best major scale after G major, in my opinion.

Kisah Si Pangeran Mungil atau The Little Prince atau Le Petite Prince dilatarbelakangi oleh pengalaman penulis buku sebagai penerbang selama Perang Dunia II. Kita tahu bahwa dalam perang tersebut ada genosida kelompok Yahudi dan minoritas lainnya, dalam upaya mempromosikan janji utopis masa depan yang bercahaya bagi kelompok yang mendukung diktator dan rezim yang keji. Merekalah pihak yang diberikan kekuasaan dan otoritas atas sumber daya. Mungkin konser ini tidak memuat agenda politik berhubung beberapa hari selanjutnya adalah masa tenang kampanye dan hari Pemilihan Umum akan tetapi berseni adalah berpolitik — kehadiran seniman menantang status quo dan ide-ide yang diutarakan atau ditampilkan, merefleksikan perasaan dan gagasan. Berada atau tidak berada di panggung, membuat suara atau tidak — it’s a stance. Beberapa orang dewasa yang dikunjungi oleh Si Pangeran Mungil adalah seseorang jumawa yang ingin dielu-elukan; seorang yang terpaku menghitung bintang “miliknya”; seorang yang ingin berkuasa tapi tidak memiliki rakyat. Orang-orang seperti itu memang ada di dunia nyata. Retorika kebencian yang lahir dari prasangka buruk juga menggelapkan pikiran rasional dan toleran. Dan kurangnya cinta terhadap sesama; bagaimana dengan mereka yang membutuhkan perhatian lebih?

Sekali lagi, saya terharu dengan pemilihan program oleh tim artistik— di luar dari betapa besar tantangan yang harus dihadapi bersama-sama tapi juga betapa berharganya apa yang diperoleh setelah melalui three of Tchaikovsky’s most revered works dan merupakan kehormatan dapat menampilkan ulang karya komposer Indonesia. Terima kasih karena sudah mempercayai dan mendukung para anggota untuk membawa karya tersebut.

Oiya, jangan sungkan untuk follow akun IG dan Youtube Orkes Komunitas Concordia ya!

This feels like a high point in my life. This reminds me of the year 2016 where I also felt the same. Saya bergabung di orkes simfoni universitas tahun 2014, lalu rangkaian konser di tahun 2015 mempersiapkan saya untuk tahun 2016 dimana saya merasa it was a really really good ride. Saya memulai kembali bermain di orkestra tahun 2022, jadi semoga rangkaian konser di tahun 2023 kemarin menjadi bekal dan penyemangat untuk tahun ini. (side note: selain itu, tahun 2016 berkesan juga karena pertama kalinya sepanggung dengan English Horn dan di tahun ini mendapat kesempatan untuk mendengar bunyinya di panggung. I hope it’s a recurring theme). Terima kasih atas segala support yang begitu abundant dan kesempatan yang sangat generous for someone who still has a long way to go.

--

--

Owren

Straying. Pathfinding. Exploring my curiosities 🦉 Dumping thoughts or what could have been one of those /takes/ on the 🐦 app. Hope stories can help though.