40 Tahun OSUI Mahawaditra dan PSM UI Paragita

Owren
7 min readDec 4, 2023

Seperti apa suasana upacara wisuda di Balairung Universitas Indonesia sebelum tahun 1983? Para wisudawan, jajaran rektorat dan dosen, serta orang tua yang hadir barangkali mendengar suara-suara orang berlalu lalang; pemandu acara dari pengeras suara; jepretan kamera, atau penjual bunga dan cinderamata wisuda. Bagi yang bisa mendengar, suara hadir dalam kehidupan kita dan menjadi bagian dalam dalam kenangan tersebut.

“All is a blank before”
Mungkin ini menggambarkan isi hati para pengurus dan pemain OSUI Mahawaditra dan PSM UI Paragita kala itu yang ditugaskan untuk membangun suara agar dapat lebih menghidupkan suasana khidmat dan bahagia di selebrasi yang bisa saja terjadi hanya sekali dalam seumur hidup. Tidak ada yang tahu bagaimana memulai sesuatu. Universitas Indonesia sendiri sudah beroperasi sejak lama dan tidak memiliki jurusan musik. Lantas darimana memulai latihan? Darimana bisa mendapatkan alat musik? Apakah ada peta atau panduan yang mereka harus ikuti?

Dari tahun ke tahun, Mahawaditra dan Paragita berjuang dan bertahan agar kelak mahasiswa baru dapat mengikuti jalur yang sudah dibangun. Empat dekade penuh dengan pasang surut. Bak nelayan atau penjelajah laut, gelombang bukan hal yang menakutkan. Empat dekade dibangun oleh kerja keras, kekesalan, dan kebersamaan. Empat dekade melahirkan pencapaian, tonggak sejarah, dan pembelajaran berorganisasi yang berharga menjadi peta dan panduan. Belum tentu perusahaan, bisnis, atau hubungan bisa bertahan selama 40 tahun tapi demi kesempatan untuk bermusik, kedua raksasa Unit Kegiatan Mahasiswa Seni mengarungi laut kala badai dan lautan tenang, dengan nahkoda dan awak yang berbeda. Berlayar dari titik yang sama, mengarungi wilayah yang tak banyak dijamah, berlabuh di tempat yang berbeda-beda.

Di tahun ke-40, OSUI Mahawaditra untuk pertama kalinya menampilkan karya pesanan khusus dengan tema Mahawaditra dan UI, berjudul “Mahawaditra Overture” karya Chikita Amanda, yang memperbaharui warna dari melodi dan inspirasi dari lagu yang lekat dengan civitas academia dan yang rutin dimainkan — bisa dibilang menjadi rite of passage bagi tiap mahasiswa yang baru bergabung sebagai anggota: “Genderang UI”, “Himne Almamater UI” (sepertinya ada sedikit bagian “Keroncong Kemayoran” juga). Dalam kurun waktu 10 tahun, OSUI setidaknya mementaskan secara perdana lima karya baru komponis Indonesia (speaking of memulai sesuatu). Kemudian OSUI menampilkan “Rhapsody in Blue” dengan pianis jazz, Sri Hanuraga. Alih-alih menampilkan repertoar klasik/romantik yang berusia lebih 200 tahun, karya dengan genre yang identik dengan keluwesan, letting loose dipilih karena sesekali . Karya Gerswhin tersebut pertama kali ditampilkan 99 tahun lalu dan membuka babak baru dan pintu kesempatan dalam permusikan. Di masa tersebut medium dalam seni berkembang — the Roaring 20s dimana banyak karya seni banyak merayakan hidup dan pesta, kemegahan dan kemakmuran setelah Perang Dunia I. Instrumentasi Jazz yang lebih identik dengan alat tiup logam menjadi riuh dari perayaan atas apa yang telah dilalui dan sekarang kita dapat nikmati bersama — now we get to be playful and have fun a little bit.

Babak pertama yang menampilkan karya yang lebih modern dan membawa harapan bahwa karya-karya baru kelak akan dikenang dan dimainkan lagi suatu saat.

Konser kali ini juga menjadi momen spesial karena alumni, tim artistik, dan pelatih alat musik tiup kayu (woodwind) Metta F. Ariono, tampil sebagai solois flute. Penampilan “Concertino for Flute” beliau menandakan peran yang diambil sebagai mercusuar OSUI yang membantu penerangan dengan pengalaman ekstensif di OSUI dan sebagai musisi profesional. Karya yang dibawakan merupakan karya komponis wanita Perancis, Cecile Chaminade. Awalnya karya tersebut dibuat untuk menyulitkan seorang flutist, tentu kesulitan tersebut kini menjadi tantangan bagi pemusik. Chaminade bermusik walaupun sempat mendapat pertentangan dari orang tuanya yang juga berprofesi sebagai musisi. Against all odds, Chaminade melahirkan banyak karya dan menjadi bagian dari era musik Romantik Perancis. Komposer Perancis di zaman tersebut yang lebih banyak dikenal adalah Saint-Saens, Massenet, atau Gounod — well, if you didn’t know about a French female composer, now you know, sedangkan Chaminade patut berdiri di antara jajaran mereka.

Babak kedua dilanjutkan dengan kolaborasi antara suara manusia dan alat musik orkestra. “4"33” karya John Cage, yang sebenarnya hanya keheningan selama empat setengah menit, bukan hanya sebagai karya selingan untuk memenuhi durasi program atau menjadi sesi rehat bagi para penampil tapi juga mengajak semua yang hadir di Teater Besar Jakarta untuk mendengar suara-suara di sekitar. Mungkin ada penonton yang merasa takut untuk membuat suara di sebuah konser orkestra dan ada juga yang merasa bahwa itu saat yang tepat untuk batuk, merogoh sesuatu dalam tas, atau bergerak menyesuaikan posisi duduk. Ini karya yang tepat menggambarkan — bagaimana jika tidak ada lagu yang dinyanyikan oleh PSM Paragita dan diiringi OSUI Mahawaditra di tahun 1983 atau saat ini? Atau masa dimana hampir tidak mungkin untuk bertemu, bernyanyi, dan bermain musik bersama-sama; tempat konser kosong tidak ada yang tampil (what a grim reminder).

Lalu terdengar suara burung. Awalnya sayup-sayup, menjadi ramai dan menjadi lantunan: “terbangnya burung hanya bisa dijelaskan dengan bahasa batu.” Birds fly because they do. Sudah sejatinya. Suatu saat, manusia akan pergi meninggalkan kita. Ada hal yang memang sudah sepantasnya demikian. Bagimana sesuatu bisa “lebih luas dari fajar” jika matahari hanya menyinari setengah dari bumi? Bagimana langit bisa lebih dalam padahal kita selalu melihat langit berada di atas kita? Apa yang “lebih pasti dari makna” jika orang-orang dapat memiliki interpretasi berbeda akan sesuatu? Jika seseorang harus dapat terbang bebas, dia akan terbang bebas, tanpa perlu dibatasi. Jika seseorang ingin bernyanyi dan bermain musik, dia akan bernyanyi dan bermain musik. Tanpa perlu penjelasan rasional. Everything is already set in stone.

Karya “Terbangnya Burung” tersebut (komposisi oleh Arya Brahmantya Boga, ditulis oleh Sapardi Djoko Damono) dilanjutkan dengan “Meditation (from Thais)” oleh Massenet, karya solo biola yang melodinya sangat terkenal. Paduan suara ikut bersenandung menemani solois biola yang merupakan concermistress OSUI, Nashwa Anggitia atau Wawa. November tahun lalu, Wawa memainkan satu movement secara solo dari suita “Swan Lake” karya Tchaikovsky. Satu tahun kemudian, Wawa berdiri di depan dan memimpin orkestra dan paduan suara — Wawa bersiap-siap tanpa kepanikan dan tampil dengan pembawaan yang tenang. Untuk sampai ke titik tersebut memerlukan kedisiplinan, komitmen, dan ketulusan dalam bermain (+the mental strength and confidence to do that patut diacungi lima jempol). Tidak hanya itu, untuk dapat memimpin satu section dan berkomunikasi dengan instrumen lain, perlu fokus dan perhatian besar selama latihan. Patut lega jika masa depan karier profesional yang akan ditempuh setelah lulus dan lingkungan musisi muda Indonesia diisi oleh anak muda seperti Wawa. Dan kita juga patut bersyukur banyak kesempatan dan sumber daya dikerahkan untuknya dan semoga semakin banyak anak muda yang mendapatkan kesempatan dan sumber daya untuk menggeluti hobi dan mengembangkan diri mereka.

Karya terakhir, “Toward the Unknown Region” (komposisi oleh Ralph Vaughan Williams, ditulis oleh Walt Whitman), menjadi penutup dari konser dan memberi pandangan tentang realita yang sudah dan akan kemungkinan terjadi. Mengutip buku acara konser, “sepanjang karya, pendengar diajak menyusuri suasana dan atmosfer penuh dengan kelimpungan dan kekhawatiran”. Siapa yang tahu masa depan akan seperti apa? Seperti OSUI dan PSM UI tahun depan, lima tahun atau 40 tahun lagi? Ada waktu dimana sebuah peran pemimpin, pengarah, dan pengurus akan diestafestkan ke orang lain. Memang pada dasarnya, UKM Seni dibesarkan secara bergantian seiring mahasiswa baru masuk dan lulus dari universitas — beberapa turun tangan membantu jika dibutuhkan tapi selebihnya, para anggotalah yang menentukan langkah ke depan. This piece has grown on me — saya menulis refleksi spesifik tentang karya ini karena merasa terinspirasi dengan beberapa bagian terakhir (dan perasaan sangat lega karena bisa melaluinya).

Sumber foto: Kak Ariana

Update: video penampilan Toward the Unknown Region melalui akun Instagram Michael Budiman Mulyadi (another update: sudah diupload ke Youtube). Michael adalah pengaba utama OSUI sejak tahun 2013 dan setelahnya aktif sebagai salah satu music director. The baton has now been passed to Deza A. Zakiy, yang akan menemani anggota saat ini dan di masa depan.

Sangat poetik sekali menampilkan dua karya musikalisasi puisi yang lahir dengan selisih lebih dari 100 tahun. Terkadang, kita perlu kata-kata untuk menyampaikan sesuatu (side note: salah satu konser OSUI paling berkesan yang saya hadiri sebagai alumni adalah konser dimana mereka membawakan musikalisasi puisi yang ditulis oleh warga binaan lapas perempuan). Dua karya tersebut menjadi pengingat bahwa OSUI Mahawaditra dan PSM UI Paragita ada kalanya bisa berbagi panggung dan berkolaborasi membuat suara (another side note: kolaborasi terakhir dilakukan di tahun 2015 menampilkan lagu dari teater/film musikal seperti West Side Story, Phantom of the Opera, Miss Saigon, Frozen).

Teruntuk para pengurus dan pemain yang sudah pernah menjejakan kakinya di jalur yang telah ditapaki, di Balai Mahasiswa Salemba atau Pusgiwa Depok, terima kasih dan semoga kalian sehat selalu dalam menapaki jalan yang kalian ingin tempuh. Tanpa kalian bisa jadi sulit untuk mengisi kekosongan dan menemukan teman untuk sepanjang hidup. Teruntuk para calon anggota di masa depan, saya tidak sabar untuk menanti dunia apa yang akan kalian temukan nanti. Laut tidak akan selamanya tenang; asam garam dalam mengelola organisasi atau mengembangkan kemampuan akan selalu ada tapi semoga kebijaksanaan dan wawasan pendahulu dapat menjadi angin untuk layar kalian.

Sampai jumpa di tahun 2028!

Terima kasih kepada para panitia, pengurus, pemain, sosok-sosok senior yang sudah memberikan sandaran dan dorongan. Terima kasih juga kepada para orang tua, kerabat, rekan, dan teman yang sudah mendukung.

This note may sound like coming out of nowhere but given the current situation and the impact of European/US imperialism that are still affecting millions of people today, we have to acknowledge that the journey to explore the unknown, has caused unintended consequences in that lives were lost, land and resources were stolen, social cohesion and balance were disturbed, and the continued decades of subjugation over territories given a pseudo-freedom. Though perhaps, the song and lyrics came from a more self-introspection after dealing with a tumultuous uncertain life, we need to assert and ensure ourselves to be better than those who’ve explored before us. The discovery of the “newfound land”, be it in a reputable social status or degree, improved economic or living conditions and such will not allow us to take advantage of others and continue the system that only benefits a few.

--

--

Owren

Straying. Pathfinding. Exploring my curiosities 🦉 Dumping thoughts or what could have been one of those /takes/ on the 🐦 app. Hope stories can help though.